About Me

Foto Saya
mujiantono
Saya adalah seorang guru Matematika di sebuah sekolah swasta di Bontang Kalimantan Timur. Saya sangat senang dengan profesi saya sebagai guru, karena disini saya mendapatkan banyak tantangan, mendapatkan banyak ilmu, banyak karakter dan banyak lagi. Selain itu banyak dinamika yang terjadi setiap saat.
Lihat profil lengkapku
Rabu, 07 Juli 2010

Di Persimpangan Jalan Jakarta dan Fukuoka

Penulis: Abu Aufa


Mentari baru saja menyapa, namun panasnya mulai menyengat. Di jalanan, pekik dan bising kendaraan roda dua hingga empat, campur aduk bersahut-sahutan. Semua orang berteriak dengan klakson, meraung dengan suara mesin, dan memaki dengan semprotan knalpot kendaraan.

Selamat siang Jakarta!

Kota yang setiap saat menyuguhkan hidangan udara bertuba yang menyesakkan dada. Panas membuat gerah, layaknya pergulatan hidup di kota metropolitan. Atau seperti panasnya persaingan politikus yang saling sikut-sikutan, berebut untuk menjilat kekuasaan.

Hari ini, Jakarta memang panas sekali. Namun bagiku itu sama sekali tak berarti. Udara sejuk dari air conditioner di dalam mobil membuatku terasa nyaman. Dihibur dengan lagu-lagu Bimbo, semakin membuat nikmat perjalanan. Terdengar suara khas penyanyinya bersenandung tentang nasehat dari RasuluLlah Sallallaahu Alayhi Wasallam,

Rasul menyuruh kita mencintai anak yatim
Rasul menyuruh kita mengasihi orang miskin
Dunia penuh dengan orang yang malang
Dunia penuh dengan orang yang malang

Mari dengan rata
Kita bagi cahaya matahari Mari dengan rata
Kita bagi cahaya bulan

Sesekali aku pun bergumam menirukan, sementara mata tetap awas menatap jalanan.

Tampak begitu banyak orang berdesakan di dalam bis kota, dan rakyat kecil yang berdiri di pinggir jalan sambil menanti angkutan. Peluh bercucuran di sekujur tubuh, membasahi baju-bajunya. Bibirku lalu tersungging sebuah senyuman, alhamduliLlah, aku lebih beruntung dari mereka.

Di sebuah persimpangan jalan, tak ayal beberapa kali traffic light menahan laju kendaraan. Udara luar yang terlihat semakin bergolak, membuat banyak orang marah dan kehilangan kesabaran. Suasana jalan yang semakin hiruk-pikuk tak urung membuatku terganggu, sehingga membesarkan volume lagu yang didengar.

Dari balik jendela mobil, kulihat polisi pun sibuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan peluit dan mengayun-ayunkan tangan. Namun sekilas kemudian bola mata beralih pandangan.

Di kolong jembatan beton dan besar itu terlihat banyak sekat-sekat yang terbuat dari kardus dan triplek bekas. Seadanya, hanya sekedar membatasi wilayah kekuasaan. Beberapa pakaian, kutang dan kolor juga tampak berkibar-kibar pada beberapa utas tali rapia. Terlihat pula bocah-bocah kecil bermain-main dengan bertelanjang dada, sehingga tulang rusuknya jelas terlihat. Mereka lusuh dan dekil. Berulang kali, sisa ingus yang meleleh diseka dengan punggung tangan atau ujung lidah.

Ah, aku jijik melihatnya.

Cepat kualihkan pandangan, namun mata tertumbuk pada pemandangan yang tak kalah menjijikkan. Seorang laki-laki tua kudisan menuntun wanita setengah baya yang mengenakan kebaya usang dan penuh tambalan, seraya tangannya menggendong seorang bayi dengan sebuah kain selendang. Mereka pasti pemalas, pikirku. Mungkin juga bayi itu adalah bayi sewaan. Berdusta, agar mereka mendapat belas kasihan pengguna jalan.

Di sisi trotoar lainnya, seorang pemuda berambut gimbal dengan tubuh telanjang terkekeh-kekeh sendirian. Kumis dan jenggotnya jarang-jarang. Kadang ia berteriak, menangis atau tertawa sambil mengibas-ngibaskan gembolan. Terlihat pengguna jalan menghindar, namun beberapa pengemis acuh tak acuh melihatnya. Mungkin pemandangan biasa bagi mereka.

Pengemis itu ada yang cacat sambil duduk di pinggir trotoar. Menengadahkan tangan seraya meminta-minta. Kedua kakinya sudah tak ada, tampak dari perban yang melilit sebatas paha. Tubuh dan pakaiannya pun terlihat kotor. Giginya hitam serta bekas borok, panu dan kurap terlihat di bagian tubuhnya yang terbuka.

Seorang pengemis yang lain kulihat terbaring di atas tikar, berbantal buntalan bulukan. Air liur tak henti-henti menetes dari tepi mulutnya. Tubuhnya kurus, tinggal tulang. Mirip tengkorak hidup. Sementara kaki sebelah kanan menyilang di paha sebelahnya, sambil jari-jari kaki itu menjepit kecrekan yang terbuat dari tutup botol bekas. Lalat-lalat berseliweran, mengerubungi koreng-koreng bernanah dan bekas kotoran manusia di sekitarnya.

Hoek...!!!
Hampir saja aku akan muntah. Tapi untunglah masih dapat kutahan hingga tak mengotori t-shirt Calvin Klein yang dikenakan.

Uups...!!!
Klakson mobil di belakang membuatku tersentak, lalu menjauh dari pemandangan yang benar-benar membuatku mual. Dari balik kacamata hitam Versace, tak kupedulikan kilasan tatapan mata mereka.

Apa peduliku? Kenal saja tidak, saudara juga bukan.

Cuih...!!!
Dasar mereka saja pemalas. Hanya tahu meminta-minta.

Lagu-lagu bernuansa Islam terus mengalun selama perjalanan. Selesai sebuah lagu, langsung disambung dengan lagu-lagu lainnya. Begitu sejuk terdengar.

Mobil akhirnya berhenti di sebuah pelataran parkir mall termegah. Ada banyak barang yang harus kubeli sebagai oleh-oleh saat nanti pulang ke Negeri Sakura. Lalu sibuk shopping hingga kedua tangan rasanya tak cukup untuk menenteng beberapa plastik berukuran besar. Akhirnya, dua buah trolley terpaksa digunakan.

Fuiiih...
Hari yang panas dan melelahkan. Namun sungguh menyenangkan melihat mobil yang penuh timbunan bumbu-bumbu, makanan instant, souvenir untuk profesor dan teman-teman serta barang-barang kebutuhan lainnya. Puas, terpancar dari wajah.

Kembali lagu-lagu bernuansa Islam menemani sepanjang perjalanan pulang. Kini terdengar nasyid dari Snada, mengalun lirih, mengajakku kembali bergumam menirukan,

Ketika malam datang mencekam
Kulihat si Alif kecil yang malang
Duduk tengadah ke langit yang kelam
Meratapi nasib diri

Kilat menyambar hujanpun turun
Semakin basah hatinya yang resah
Kapankah semua ini kan berakhir
Di jalanan penuh duri

*****

Sholat subuh baru saja kutunaikan, lalu pandangan lepas dari balik jendela. Semburat jingga cahaya mentari meretas dari awan putih yang bergumpal-gumpal begitu indah. SubhanaLlah, bagaikan kasur yang terbuat dari tenunan kapas. Seolah-olah mengajakku berbaring dan terbuai di atasnya. Sekejap aku merenungkan ciptaan-Nya.

Tak berapa lama, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat di Fukuoka International Airport. Sejurus kemudian, aku telah berada di mobil seorang teman. Walaupun sekarang di Jepang sudah menjelang akhir musim panas, namun dengan air conditioner tentu akan membuat lebih nyaman perjalanan. Udara pun sejuk dan melenakan.

Selamat siang Fukuoka!

Sepanjang perjalanan, tak ada kemacetan. Semuanya berjalan teratur mengikuti peraturan. Di setiap persimpangan, trotoar bersih dari gelandangan. Lalu pikiranku seketika menerawang, membelah angkasa dan samudera. Kembali bersua dengan suasana di tanah air tercinta.

Pertanyaan demi pertanyaan beruntun menyentak, mengapa banyak sekali laki-laki dan wanita tua bahkan anak-anak kecil yang menjadi pengemis liar? Mengapa pula pemerintah seolah-olah membiarkan mereka begitu saja? Bukankah itu tugas mereka? Atau, para gelandangan itu yang pemalas? Bla... bla... bla...

Tak habis-habis aku merutuk. Hidup mereka hanya bagaikan sampah, dan membuatku malu sebagai orang Indonesia.

Namun, rentetan pertanyaan hanya sebentar menggantung di benak, lalu hilang tak berbekas. Perjalananan yang menyenangkan dan suasana nyaman ini lebih menarik perhatian daripada memikirkannya. Biarlah, bukankah nanti juga ada orang-orang yang akan memikirkan nasib mereka.

*****

Tanpa terasa telah tiba di rumah, dan sibuk mengemaskan barang-barang yang begitu banyak jumlahnya. Rumah di Jepang yang sudah sempit, semakin terasa sesak. Kulkas telah penuh, lemari apa lagi. Nyaris tak tersisa celah-celah untuk menyimpan makanan serta oleh-oleh yang beraneka ragam jenisnya.

Lelah, tapi sungguh menyenangkan. Hampir semua jenis kue, makanan-makanan instant telah siap untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Hati puas karena membayangkan sebulan mendatang, saat sahur dan berbuka puasa, akan menikmati hidangan lezat serta tentu saja halal untuk dimakan.

Lalu segera ke kamar mandi, karena lelehan keringat ini sungguh membuat gerah.

Aah... Enaknya istirahat setelah mandi. Sambil makan cemilan, duduk santai di depan komputer untuk membaca beberapa berita online.

Mata tertumbuk pada sebuah berita, hasil wawancara sebuah media dengan seorang ustadzah tentang pola pemurtadan.

..... Ya, macam-macam. Tengok sendiri di jalan Pramuka (Jakarta Pusat) di lampu merah sana, kurang lebih satu bulan sebelum Ramadhan sudah ada orang yang menjual salib dan gambar Yesus tapi pakai baju koko. Ketika ditanya, "Agamamu apa?" Dia bilang, "Islam." Lho, kenapa jual seperti ini. Mereka bilang daripada tidak makan, daripada mencuri?

Ternyata apa yang terjadi, setelah dikorek, mereka bilang, dagangan laku atau tidak, oleh gereja mereka digaji perhari Rp 25.000. Lihat pula pengamen, apa yang mereka nyanyikan.

Di Priok ada gereja yang setiap malam menjaring gelandangan. Jadi gelandangan itu diajak masuk gereja. Sampai timbul calo, calo gelandangan. Karena dari satu orang gelandangan, calonya dapat Rp 30.000.

Belum lagi...

Aku tersedak. Tak dapat kutuntaskan bacaan, dan tergamam seketika itu juga.

AstaghfiruLlah...

WaLlahua'lam bi shawab.

*MERENGKUH CINTA DALAM BUAIAN PENA* Al-Hubb FiLlah wa LiLlah,

Abu Aufa

Catatan: Fukuoka: sebuah kota yang terletak di Pulau Kyushu, Jepang

0 komentar:

Posting Komentar

Waktu

Pengikut